Kamis, 30 Juli 2009

Untuk Sebuah Cita

Namaku Aisyah, aku tinggal bersama kedua orang tuaku. Rumah kami berada di pinggiran metropolitan, walaupun hidup kami sederhana namun tidak menyurutkan semangatku untuk belajar. Buktinya aku bisa menduduki rangking satu terus, hingga kini aku sudah menginjak kelas IV MI. Hanya saja walaupun aku selalu rangking kelas aku tidak pernah diberikan hadiah oleh kedua orang tuaku, mungkin mereka tidak mampu untuk memberikan hadiah itu.


Ayahku bekerja sebagai karyawan rendahan di sebuah panti asuhan, gajinya hanya cukup untuk makan kami sekeluarga, sedangkan ibuku hanya berada di rumah, dulu ibu pernah mengajar di TK dekat rumah, tapi karena suatu sebab beliau tidak mengajar lagi, mungkin karena banyak guru-guru baru yang lebih tinggi pendidikannya. Dalam keluargaku aku adalah anak tunggal, aku tidak punya adik dan juga tidak punya kakak, hal inilah yang membuat hubunganku dengan ayah begitu dekat, walaupun beliau hanya karyawan rendahan namun dia tidak pernah minder, apalagi menyerah dengan nasib. “Kita harus merubah nasib kita sendiri” begitu katanya pada suatu hari.


Ternyata ucapan ayah bukan isapan jempol, beliau sangat bersungguh-sungguh untuk membuktikan ucapannya, hal ini pula yang membuatku merasa untuk terus bersemangat belajar, walaupun aku tidak pernah diberikan hadiah jika juara kelas, berbeda dengan teman-teman yang mempunyai keluarga yang kaya, jika mereka juara pasti dibelikan macam-macam, hal ini aku ketahui dari majalah bekas yang sering dibeli oleh ayah. Yah…. Benar ayah memang sangat senang membaca, sudah banyak sekali buku-buku yang dibelinya, walaupun kebanyakan adalah buku bekas. Aku sendiri juga sering sekali dibelikan majalah dan buku-buku bacaan bekas, katanya sih kalau beli yang baru mahal.


Mungkin ini juga yang membuatku mulai senang membaca. Kalau aku ingin membaca buku-buku yang baru biasanya ayah mengajakku ke toko buku, di sana aku bisa membaca buku sepuasnya tanpa perlu membeli, kalaupun terpaksa membeli paling-paling membeli majalah AAS atau buku-buku yang harganya murah.


Oh ya… ayahku bisa berubah dari seorang yang berpendidikan rendah menjadi orang yang suka membaca dan banyak ilmunya bukan tanpa sebab, ternyata ucapan beliau yang dulu telah dilaksanakan, pantas saja setiap akhir pekan ayah tidak pernah mengajakku jalan-jalan, rupanya beliau mengikuti kuliah kelas akhir pekan di sebuah Universitas, ternyata tidak berhenti disitu, beliau juga mengikuti kursus komputer, bahasa Inggris, bahasa Arab dan ikut kuliah juga di Universitas Terbuka (UT). Pantas saja ayah jarang sekali membeli baju atau membeli barang-barang rumah tangga. Dan bunda sendiri juga sering mengeluh dengan uang belanjanya. “Bu sabar saja ini khan buat kebaikan kita nanti” begitu kata-kata ayah yang pernah aku dengar.


Kini aku paham kenapa setiap juara kelas aku jarang diberikan hadiah, rupanya uang ayah digunakan untuk biaya kuliahnya. Dan saat ini kami semua bersyukur, setelah ayah menyelesaikan kuliahnya kini ayah diangkat sebagai karyawan tetap dan statusnya pun naik. Semoga saja tahun ini kalau aku juara bisa dibelikan sepeda. “Bu Ayah berencana untuk melanjutkan sekolah Pasca Sarjana” kata ayah pada ibu. “Kalau ayah sudah yakin ya silahkan saja bunda hanya mendoakan” sahut ibu pelan. Yah…melayang lagi deh hadiah juara kelasku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar